Kolose 3:9-10
Namaku Grika. Orang berkata aku manis. Sebenarnya aku beruntung, lahir di keluarga yang cukup berada. Ayahku berasal dari Indonesia Timur, sedang ibuku orang Jawa. Ayah adalah seorang kontraktor yang cukup berhasil, sedang ibu membuka usaha di rumah. Yang jelas, tidak ada "kamus" kekurangan di dalam hidupku. Namun, ada dua hal yang membuatku prihatin, karena ini hal terpenting di dalam kehidupan keluarga. Kedua hal itu adalah ibuku belum percaya kepada Tuhan Yesus, sementara ayahku adalah orang yang kasar, berbanding terbalik dengan ibu yang lemah lembut. Entah karena sikap kasar ayahku yang membuat ibu belum mau percaya kepada Tuhan Yesus, atau karena latar belakang keluarganya yang cukup fanatik dengan agamanya. Namun, yang jelas hampir sering aku menyaksikan ayah mencaci maki ibu, bahkan kadang-kadang "main tangan". Bukan hanya ibu, aku pun sering menerima perlakuan yang sama dari ayah. Pipi merah akibat tamparan dan punggung bengkak akibat pukulan sudah seperti menjadi teman hidupku. Aku hidup dan besar dalam kondisi keluarga yang seperti itu.
Terpujilah Tuhan, sekitar empat tahun yang lalu, ibuku mulai membuka diri terhadap Kabar Baik. Kalau ada ibadah di rumah, ibu mulai ikut, sekalipun dia masih belum mau pergi ke gereja. Namun sayang, ayahku tidak berubah dan tidak menunjukkan dirinya sebagai orang percaya. Ini membuat perjuangan ibu untuk menjadi orang percaya semakin berat, karena dia juga harus berhadapan dengan keluarga besarnya. Tetapi, aku melihat bahwa ibu sesungguhnya sudah percaya kepada Tuhan Yesus, terlihat dari satu alasan saja yang membuat dia belum mau ke gereja. "Kalau ayah tidak mau berubah, saya tidak mau ke gereja, malu sama jemaat yang lain," demikian kata ibu. Hingga, pada saat yang tidak pernah kami harapkan, ibu sakit dan ternyata sakitnya cukup parah. Aku tidak tahu karena ibu tidak pernah bercerita kepadaku. Aku bawa ke rumah sakit dan ternyata itu adalah hari terakhir ibu hidup di dunia ini. Tuhan memanggil ke pangkuanNya. Aku sangat terpukul! Seakan-akan tempatku mengadu dan pangkuan tempatku berbaring manja hilang dalam sekejap. Ayah memang kelihatan sedih saat itu, tetapi ternyata dia tetap saja tidak berubah dari sikap kasarnya. Dalam hati aku selalu berkata, "Ayah, bukalah hatimu ..." Sikap kasar ayah memuncak, tatkala dia tahu bahwa aku tetap menjalin hubungan dengan orang yang tidak dia sukai. Aku pun diusir dari rumah dan aku pergi ke rumah tante. Tinggal di sana sampai saat ini, sambil menanti perubahan sikap ayah. Namun demikian, aku tetap berkata di dalam hatiku, "Ayah, bukalah hatimu ..."
Mari kita gemakan perkataan kepada sahabat, "Sahabat, bukalah hatimu ..." Atau, kepada saudara, "Saudara, bukalah hatimu ..." Jangan bosan mengharapkan perubahan hidupnya menjadi lebih baik, karena itulah sesungguhnya beban yang Tuhan taruh di pundak kita.
DOA
Bapa, kuatkan aku untuk selalu bertekun di dalam pengharapan dan doa untuk perubahan sikap hidup orang-orang yang aku kasihi. Dalam nama Tuhan Yesus aku berdoa. Amin.
back
Best viewed in Mozilla Firefox 3 or greater