welcome visitor
Join us

categories
artikel -

Tuhan Yang Memanggil

Sefen Krisman Gea, S.Pd.K, Nias

Ketika saya berumur 3,5 tahun, ayah saya dipanggil Tuhan. Mama adalah seorang petani. Ia menjual hasil panen ubi, talas, dan singkong ke pasar satu kali seminggu. Jarak kebun dan pasar ditempuh dalam waktu sekitar 1,5 jam dengan berjalan kaki. Dari hasil perkebunan itulah mama saya berjuang untuk membesarkan ketujuh anaknya. Dahulu kami jarang makan nasi, kami sering makan talas dan singkong rebus. Kami makan nasi hanya satu sampai tiga kali seminggu. Saya tumbuh di lingkungan yang keras, menjadikan saya pribadi yang keras dan nakal. Kebiasaan orang-orang yang ada di lingkungan saya adalah merokok, berjudi, mencuri hewan, minum-minuman keras, meminta uang kepada orang lain, merampok, berkelahi bahkan membunuh. Saya merokok sejak kelas 3 SD. Saya tertarik merokok karena saya melihat orang-orang yang di sekeliling saya merokok. Berawal dari penasaran dan coba-coba, berakhir dengan kecanduan merokok. Bila kehabisan rokok, biasanya saya mencari sisa-sisa puntung rokok yang telah dibuang atau minta kepada teman. Saya mulai mencuri uang tabungan mama, abang-abang saya juga mencuri barang-barang yang ada di rumah untuk dijual. Saya suka memberontak kepada mama dan keluarga, saya sering membentak dan memarahi mama. Bahkan, saya sering membanting dan menghancurkan barang-barang yang ada di rumah. Ketika saya bersikap seperti itu, mama hanya terdiam menangis dan ketakutan oleh sikap kasar saya itu. Setelah selesai SMA, kenakalan saya mulai berkurang dan mulai berpikiran dewasa. Melihat itu, keluarga saya mencoba mendaftarkan saya di sebuah Sekolah Teologi. Namun, saya tidak mau kuliah di sana, sebab kuliah teologia bertentangan dengan sikap dan kemauan diri saya. Setelah itu, saya kuliah di Universitas Terbuka di jurusan manajemen. Saya sudah mengikuti perkuliahan di sana selama 2 semester. Tetapi, suatu saat teman-teman saya membicarakan perihal kuliah di Jakarta. Saat itu mereka sedang membicarakan perkuliahan di STT Pelita Bangsa. Pembicaraan tersebut saya tanggapi dengan bercanda, saya berkata kepada keluarga, "Bagaimana kalau saya kuliah di sana?" Namun dalam hati saya berdoa, apabila Tuhan menghendaki saya menjadi hambaNya, maka Ia akan buka jalan. Ternyata candaan saya ditanggapi serius oleh keluarga, hingga mereka pun rela meminjam uang untuk transportasi saya ke Jakarta, serta untuk biaya hidup di sana. Setelah menjalani perkuliahan sebagai calon hamba Tuhan, hidup saya masih belum berubah. Saya masih sering merokok secara diam-diam hingga suatu ketika ketahuan oleh seorang teman. Di tengah ketakutan, saya pun memohon kepada teman saya agar tidak melaporkan saya ke pihak kampus dan berjanji kepada Tuhan bahwa saya tidak akan merokok lagi. Akhirnya, rokok yang sudah menemani saya selama sebelas tahun, saya tinggalkan sejak hari itu. Gaya hidup saya semasa di kampung, saya tinggalkan semua. Saya juga meminta maaf kepada mama atas semua sikap kasar saya kepadanya, dan puji Tuhan, hubungan kami pun dipulihkan Tuhan. Hidup saya telah diubahkan oleh Tuhan. Dia menjamah hidup saya hingga akhirnya saya menyerahkan hidup saya sepenuhnya untuk melayani Tuhan. Saya percaya bahwa Dialah yang telah memanggil dan menetapkan saya untuk menjadi hambaNya, tidak peduli seperti apa dan bagaimana saya dahulu. Atas pertolonganNya, saya pun menyelesaikan kuliah dan melayani Tuhan di Kalimantan. Demikianlah sepenggal kesaksian dari saya, semoga menjadi berkat bagi saudara-saudari sekalian. 


back
more article...
login member
Username
Password
* sign up here