Kesaksian Vinny Yurisca (Jakarta)
Tanggal 12 Agustus 2013 tiba-tiba kedua ujung jempol kaki saya mati rasa. Saya coba cari tahu di internet, ternyata itu gejala saraf kejepit yang bila dibiarkan dapat mengakibatkan kelumpuhan. Segera saya periksa ke dokter spesialis saraf. Hasil tes menunjukkan kondisi saya sehat. Namun satu bulan tidak ada perubahan, rasa sakitnya menjalar sampai seluruh jempol kaki. Atas saran teman-teman, saya pindah ke dokter spesialis fisioterapi. Tanpa dirontgen, saya langsung diterapi. Alhasil punggung dan tangan saya menjadi nyeri dan sakit. Akhirnya saya pindah ke dokter spesialis di RS yang lain. Di RS itu saya langsung dirontgen (MRI). Setelah melihat hasil rontgen, dokter memvonis harus segera dioperasi, karena bantalan dileher saya pecah, sehingga saraf saya ada yang kejepit di leher (HNP). Jika tidak segera dioperasi, semakin hari punggung serta tangan saya akan bertambah nyeri dan lama-lama bisa lumpuh. Saat itu saya sangat kaget dan rasanya masa depan sudah gelap. Saya juga memikirkan biaya operasi yang cukup mahal dan risiko dari operasi tersebut juga terlalu besar, apalagi saya masih muda. Tak terbayangkan jika operasi gagal dan saya harus duduk di kursi roda seumur hidup.
Setelah hari itu, setiap hari saya berdoa dan bergumul meminta Tuhan untuk peneguhan, apakah saya harus dioperasi atau tidak? Rasa sakit dan nyeri di punggung dan tangan semakin menjadi. Bahkan menyisir rambut saja, saya harus menggunakan tangan kiri. Terlebih lagi bila saya menunduk, rasanya sangat sakit sekali! Tidur pun saya tidak bisa telentang, hanya bisa miring ke kiri. Tangan rasanya ngilu seperti dipelintir. Saat rasa nyeri itu menyerang di tengah malam, saya harus bangun dan duduk agar rasa nyerinya berkurang.
Atas saran dan referensi teman, saya mencoba pergi ke seorang dokter lulusan dari Beijing khusus pengobatan tradisional dan akupuntur. Baru 1x datang, malamnya sudah bisa tidur telentang meskipun cuma 5 menit saja. Setelah datang ketiga kalinya, rasa sakitnya sudah hilang dan saya bisa tidur dengan posisi normal. Suatu hari, saat saya sedang mengantre di dokter akupuntur tersebut, saya bertemu dengan seseorang yang saat itu berumur 50 tahun. Ternyata ia penderita HNP (saraf yang terjepit) sejak usia 19 tahun. Kami bercakap-cakap, dan menurut pengalamannya yang pernah berkonsultasi dengan dokter di Jerman, beliau menyarankan tidak usah dioperasi, karena risikonya terlalu besar. Operasi baru dilakukan jika sudah kehilangan fungsi motorik dalam tingkat yang parah.
Setelah mendapat peneguhan dari Tuhan lewat orang itu, saya menjadi yakin tidak perlu dioperasi. Saya berserah penuh kepada Tuhan. Saya menyanyi lagu "Elshadai" dan mengaminkannya untuk menguatkan iman saya. Lewat penyakit ini, saya belajar untuk mensyukuri hidup, bahwa untuk menunduk, menyisir rambut, dan tidur telentang adalah sebuah anugerah. Saya belajar mengaplikasikan Ayb 2:10 yang berbunyi, " ... Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" Sehingga saya belajar untuk tetap mengucap syukur kepada Tuhan dalam segala kondisi. Puji Tuhan rasa sakitnya sudah berkurang. Saya masih mampu mengangkat benda yang beratnya kurang dari 3 kg. Saya sudah tidak ke dokter akupuntur atau minum obat lagi. Saya percaya, bila Tuhan berkehendak membuat mujizat dalam hidup saya, maka Ia akan memberikan bantalan baru di leher saya. Namun yang terutama, saya percaya bahwa Tuhan akan tetap memberikan yang terbaik untuk hidup saya.
back
Best viewed in Mozilla Firefox 3 or greater